Apresiasi Seni: Intimate Distance (2)
"Intimate Distance: Menelusuri Jejak Wacana Feminisme dalam Seni Rupa
Dari harian Kompas (Senin 6 Agustus 2007) Ninuk Mardiana Pambudy, jurnalis Kompas, menulis artikel "Membaca Perempuan Melalui Seni Rupa". Isi artikel ini banyak mengupas isi diskusi antara para perupa dan peserta diskusi pada pameran ini. Kata "Feminisme" rupanya banyak mendapat sorotan dalam diskusi ini. Tapi seperti yang diungkapkan pematung Dolorosa Sinaga kepada Kompas: "Untuk saya sebutan tidak penting, karena karya saya dari awal adalah membela yang termajinalkan dan itu adalah perempuan".
Saya sendiri ingin mencoba mengapresiasi apa yang saya lihat dalam pameran ini. Saya tidak ingin ikut mencari tahu apakah seniman wanita
Memasuki pelataran Galeri Nasional Indonesia di belakang penerima tamu adalah karya Iriantine Karnaya, Gua Garba. Sebenarnya saya merasa karya ini akan sangat kuat mengirimkan pesannya bila diletakkan dengan latar belakang dekor hitam dan memakai bantuan permainan cahaya. Sherry Ortner seorang antropolog yang banyak mempelajari mengenai wanita, budaya dan masyarakatnya, mengatakan bahwa wanita sangat dekat dengan alam. Daya kreativitas wanita sudah terpenuhi secara alami melalui proses melahirkan. Secara alamiah wanita menciptakan dari keberadaan dirinya sendiri. Dalam konteks ini Gua Garba merupakan kata pembuka yang sangat tepat untuk menelusuri wacana feminisme dalam seni rupa
Menurut sang kurator dalam kata pengantar katalog, istilah feminisme memiliki stigma yang sangat kuat karena cenderung dikaitkan dengan liberalisme dan radikalisme. Karena itu wacanagender menjadi lebih populer daripada wacana feminisme. Istilah ini memang tidak hanya menjadi topik hangat untuk komunitas
Dalam hal ini karya perupa Dolorosa Sinaga seperti menggambarkan pola feminisme yang sesuai dengan masyarakat kita. "General, have you read the book of Love?". Wanita sebagai sang penjaga kehidupan selama sembilan bulan sepuluh hari di awal kehidupan manusia bisa menjadi orang yang sangat penting dalam mengajarkan ilmu tentang Kasih. Sebagai ibu, sebagai istri, bahkan sebagai anak, wanita mampu berperan mengingatkan sang pemimpin. Sangat mungkin tidak terlihat di permukaan, sehingga tampak seakan-akan diam tak bertindak. Mungkin inilah pola feminisme yang dipilih sebagian besar kaum wanita
Terkadang wanita menjadi terlena duduk di ketinggian menerima sanjungan dan pujaan, melupakan carut marut kehidupan yang ada disekitarnya. Bisa jadi inilah yang ingin dikomunikasikan dalam wajah tenang Kartini yang memeluk trophynya dalam karya Hening Purnawati berjudul "What happened Mom?"
Atau wanita menjadi keras dan berjuang setangguh lelaki seperti wanita muda modern yang berkebaya dan bercelana panjang mengacungkan jari layaknya menembak target dengan pistol karya lukis Astari Rasjid.
Bisa jadi wanita menjadi pasif dan hanya bisa mengeluh "Baju yang Kau Pintal Terlalu Berat Bagiku" seperti yang mungkin tergambarkan dalam karya Titarubi. Entah karena kaum lelaki, entah karena tuntutan masyarakat, tapi beban sebagai wanita terkadang memang cukup berat. Masyarakat merasa berhak ikut serta menentukan pilihan-pilihan seorang wanita, padahal kedewasaan seseorang terletak dari kemampuannya memilih dan kesiapannya menghadapi konsekuensi atas pilihannya.
Ketelanjangan yang tampil dalam pameran ini tidak membawa sensasi sensual. Memang sesekali perlu juga melihat wanita dari kaca mata wanita sendiri. Bukan untuk memisahkan gender tapi mungkin kita memang perlu mangakui adanya pengaruh kedekatan dengan persoalan kodrati seperti tergambar dalam karya Laksmi Shitaresmi, serta mungkin karena memang bahasa ungkap wanita dan pria yang berbeda.
2 comments:
penting...hmmm
oh yayaya
Post a Comment